Dikabulkannya judicial review pasal 50 ayat 3 Undang-undang Sisdiknas oleh MK beberapa waktu lalu, menjadi berita baik sekaligus berita buruk bagi dunia pendidikan dan masyarakat Indonesia. Berita baik, tentunya uji materil yang diprakarsai oleh Koalisi Anti Komersialisasi Pendidikan itu menjadi jalan terciptanya pendidikan yang adil dan merata. Pendidikan yang tidak membedakan antara anak dari keluarga borjuis dan keluarga yang ‘kembang-kempis’, antara pendidikan di kota dan desa.
Dan tentunya tidak akan tercipta lagi perbedaan status sekolah. Satunya mendapat taraf ‘Internasional’, sementara di salah satu sisi masih ada yang tidak berkecukupan lokal. Selain itu, putusan tersebut sekaligus mempersempit jalan komersialisasi pendidikan.
Dibalik Kabar Baik
Sementara berita buruknya setelah MK mengetok palu atas keputusannya membubarkan RSBI/SBI ini antara lain, pertama, inilah indikator betapa ranah pendidikan selalu dijadikan ‘pilot project’ sebagai pemuas hasrat yang berkepentingan. Konsep pendidikan yang seharusnya dibuat untuk memberikan kesempatan seluas-luasnya, justru dipersempit hanya untuk kalangan berduit. Ratusan juta rupiah yang digelontorkan setiap tahun untuk ribuan sekolah yang telah ‘dianggap’ memenuhi syarat mendapat gelar RSBI belum mampu menjawab akselerasi kualitas pendidikan Indonesia.
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) negara kita justru merosot. Peringkat 108 pada tahun 2010 menjadi 124 tahun 2011. Sebaliknya kabar demoralisasi kaum pelajar justru semakin menggeliat. Ditambah dengan semangat nasionalisme yang semakin terkikis. Fenomena ini tentu menjadi tanda tanya, sejauh mana label ‘Internasional’ dalam satuan pendidikan memberikan kontribusi sesuai dengan tujuan pendidikan nasional. Dan bagaimanamana peradaban bangsa mau bermartabat jika anak bangsa kehilangan jati diri?
Kedua, ini berkaitan dengan sekolah. Bagi sekolah yang sudah terlanjur menikmati ‘efek samping’ RSBI ini, pasti akan merasa dibenturkan dengan dana operasional. Konsekuensi dari lahirnya putusan MK tersebut jelas memberikan ultimatum bentuk pungutan yang selama ini dilakukan, sekarang menjadi illegal. Penggelontoran dana ratusan juta rupiah yang didapatkan dari pemerintah otomatis juga akan terhenti. Bahkan seharusnya, fasilitas yang telah dinikmati harus dikembalikan kepada pemerintah/orang tua siswa.
Pengamatan kita juga menunjukkan gelar RSBI yang melekat pada sekolah telah menjadi nilai jual sekolah itu sendiri. Begitu juga dengan para siswa dan orangtuanya yang sudah terbiasa dengan gengsi sekolahannya. Kadang seragam sekolahpun tidak mau ketinggalan untuk dititipkan 4 huruf tersebut. Ibaratnya RSBI telah menjadi sebuah ‘pasword’ kebanggaan dalam identitas. Sekarang bayangkan jika kita kehilangan identitas yang selama ini dibanggakan. Dampak psikologis otomatis akan mendera.
Ketiga, sekarang sistem pendidikan kita mempunyai payung hukum yang salah satu pasalnya -dalam kasus ini pasal 50 ayat 3- bersifat inkonstitusional. Artinya pemerintah harus segera melakukan revisi terhadap Undang-Undang Sisdiknas. Ini seharusnya yang menjadi ‘PR’ agar ada legalitas yang kuat. Hingga pendidikan berkualitas itu bisa dinikmati oleh setiap anak bangsa yang lahir di bumi pertiwi ini. Tanpa perlu terlalu berkiblat dengan pendidikan luar yang belum 100 persen aman bagi pendidikan nasional.
Masihkah Memikirkan Status?
Berita buruk ini seharusnya disadari pemerintah sebagai ‘tamparan keras’ baginya. Betapa sesatnya (disorientasi) roda pendidikan bangsa selama ini. Masih segar di ingatan, dunia perguruan tinggi juga mengalami hal serupa terkait ditelorkannya UU Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang akhirnya juga dibatalkan oleh MK. Kepentingannya sama, membuka kran untuk menjadikan pendidikan sebagai objek dari mafia kapitalis.
Benar, siswa cerdas harus mendapat perhatian dan respon yang khusus agar kecerdasannya semakin terasah. Jika alur pikirnya seperti ini, berarti bagi siswa yang –dianggap- belum cerdas juga harus diperhatikan dan direspon dengan baik bukan? Aplikasinya selama ini, siswa cerdas dan kayalah yang bisa mengakses perhatian dan responsif terbaik itu. Sementara yang miskin, tidak cukup sekedar cerdas tapi harus benar-benar cerdas untuk bisa menembus akses itu.
Kita sangat tidak berharap putusan MK itu dijalani dengan sekedar menghilangkan label atau malah mengganti nama baru. Tidak perlu memberi status lagi dengan apapun namanya, karena itu justru hanya akan melahirkan kembali kasta di antara sekolah. Jangan sampai pemerintah malah memberi celah lagi bagi sekolah untuk menciptakan komersialisasi pendidikan melalui jaminan nama yang baru tersebut. Proses pendidikan yang mengedepankan ‘bayaran’ tidak menjadi jaminan pemenuhan kebutuhan pendidikan jangka panjang. Terkecuali jika ingin mencetak generasi pintar namun karbitan.
Namun jika pemerintah masih berkeras dengan keinginannya, seperti keinginan dalam melahirkan kurikulum baru di tengah banyaknya ketidaksiapan. Berita baik seperti yang ditulis di awal tadi hanya akan menjadi berita saja. Dan sekolah siap dijadikan sebagai ladang bisnis, persis seperti para penjual yang lagi beradu untung di pasaran. Saling memberi tarif sesuai dengan keunggulannya masing-masing. Bagi yang kantongnya tipis harus terpaksa menepi. Mereka hanya bisa memasukkan anaknya ke sekolah yang memasang tarif murah/bahkan gratis.
Ah, kadang benarlah kalau kita berpendapat selama ini pendidikan Indonesia hanya hebat di jargonnya saja. Ada istilah ‘Pendidikan Karakter.’ Tapi karakter anak bangsa sudah dikotori dari awal melalui pintu masuk sekolah yang mengedepankan modal orang tua. Istilah ‘Muatan Lokal’ yang semakin ‘abal-abal’ akibat arus global demi hasrat meraih gelar Internasional. Masih banyak istilah lainnya yang hanya indah di atas kertas.
Terakhir kita semakin sadar bahwa ada kata tersembunyi di balik kampanye “Pendidikan untuk Semua” yang selama ini didendangkan. Mungkin kampanye sebenarnya adalah “Pendidikan Bukan untuk Semua.” Karena memang akhirnya kita berkesimpulan bahwa pendidikan masih jauh dari semangat pengentasan kemiskinan yang paralel dengan kebodohan itu. Pendidikan ternyata telah diskenario sedemikian rupa untuk menciptakan kemiskinan baru. Kemiskinannyapun disengsarakan. Tragis!
***Artikel dengan judul tersebut pernah terbit tanggal 14 Januari 2013 di media cetak HALUAN KEPRI