"Lebih baik meluluskan siswa yang tidak paham Matematika,dari pada siswa yang hancur akhlaknya" (Dwi Wahyulianto).
Sadar dan sengaja di awal tulisan dikutip sebuah kalimat dari seorang yang namanya mungkin sangat asing dan belum dikenal pembaca. Orangnya ‘biasa' namun kebernasan kalimatnya menunjukkan kesadaran bahwa pendidikan bukan sekedar untuk menjawab berapa nilai yang didapat. Sebuah pertanyaan yang sering dilontarkan kepada peserta didik. Orangnya sederhana namun profesinya sangat menentukan kemana arah generasi muda bangsa nanti. Kalimat yang seharusnya memukau kesadaran ini dikeluarkan oleh rekan penulis sendiri, seorang guru matematika yang mendidik pada salah satu sekolah di pulau Sumatera.
Bukan sekedar rasa, tetapi semakin menunjukkan sebuah kenyataan yang tak terbantahkan. Output yang diinginkan dalam proses pendidikan bangsa hanya berkutat pada konteks kognitif. Estetika dan etika hanya menjadi pembicaraan sampingan dan penghias. Menjadi tema utama hanya ketika kasus pelanggaran moral mendapat pemberitaan terhangat. Ketika kehangatan berkurang, tema itupun bergeser. Pergeserannya diikuti dengan pergantian tema lain. Tema yang kembali diharapkan mampu untuk menjawab pertanyaan ‘berapa nilainya?'
Kehadiran Ujian Nasional (UN) yang semua masyarakat Indonesia sudah mengenalnya menguatkan gilasan tujuan pendidikan yang telah berorientasi kepada perubahan sikap. Dampaknya kemapanan kognisi semakin dipuja. Dimana-mana UN. UN hadir memberikan janji masa depan. Berhasil melangkahinya dianggap sebagai wujud kesuksesan. Mengabaikannya maka masa depan akan terancam. UN di mana-mana. UN telah menguasai rotasi kehidupan. Terlebih kehidupan siswa dengan sekolah dan keluarganya.
Benturan Spritual
Tidak cukup menggilas, UN juga telah memberikan berbagai pengaruh yang mengakibatkan jiwa terpental dari posisinya. Biasanya terjadi ketika obsesi meraih nilai dan predikat kelulusan itu semakin tinggi. Tanpa sadar angka-angka kelulusan yang diharapkan dibenturkan dengan nuansa ‘spritual.' Padahal jalan spritual dipilih untuk meraih kelulusan dilakukan secara sadar. Bias pemaknaan ini kemudian menyebabkan lahirnya sikap yang menentang aturan langit. Secara bahasa sudah cukup tegas diterjemahkan bahwa kata spritual diidentikan dengan sebuah sifat yang berhubungan dengan rohani. Semakin salah memaknai spritual itu, semakin keringlah rohani. Tinggallah fisik yang lelah dan berjalan tanpa arah.
Setidaknya fenomena terkait bisa kita saksikan secara kasat mata. Begitu juga melaui media yang ada. UN semakin dekat, agenda yang mengedepankan pendekatan benturan spritualpun memuncak. Bahkan diantara memanfaatkan kecemasan calon perserta UN dengan menawarkan berbagai solusi dan produk yang basisnya berada di alam kuasa manusia. Bukan juga berharap pada Tuhan. Malah memunculkan adegan yang mengarah pada menduakan Tuhan. Praktik yang menyebabkan manusia berada pada titik nadir terendah dalam sistem kepercayaan.
Kejadian ini bukan sekali. Tetapi setia mewarnai pelaksanaan UN. Selain kecemasan, faktor keterdesakan menyebabkan seorang untuk tidak bisa berpikir panjang. Jalan pintaspun ditempuh. Lagi-lagi meskipun di luar nalar intelektual. Padahal uji kompetensi siswa dalam UN merupakan uji kemampuan intelektual. Logikannya persoalan intelektual ya harus dipecahkan dengan intelektual dan menggunakan akal. Tidak mungkin akal menganggur dan kemudian berharap ada bantuan lain yang di luar pantauan manusia. Aneh bukan?
Menjawab Kebimbangan
Ketika aspek Ketuhanan dilanggar tanpa ragu dan tanpa rasa dosa. Otomatis akan menyebabkan sebuah sikap ‘pembangkangan' atas aturan kehidupan yang notabene disusun oleh manusia sendiri. Begitulah formulanya. Untuk itu, bukan sebuah berita kejutan seahrusnya ketika bertebarnya aksi ketidakjujuran dalam UN dengan beragam metodenya. Bukan hanya di UN. Munculnya perilaku siswa yang tidak menunjukkan sikapnya sebagai peserta terdidik. Mulai dari kenakalan remaja, narkoba, pergaulan bebas, dan sebagainya. Adalah merupakan bentuk perpanjangan dari akibat yang satu tadi. Melangggar perintah Pengatur Alam.
Untuk itu perlu langkah antisipatif yang bisa menjawab kebimbangan terkhusus dalam menghadapi UN. Tujuan akhirnya agar kebimbangan tersebut tidak cepat diambil alih oleh oknum yang memanfaatkan kata spritual yang tidak pada tempatnya. Salah satu cara tersebut adalah dengan kembali mengorientasikan tujuan pendidikan nasional. Benar, tujuannya secara teks telah sempurna rupa. Akan tetapi dalam perjalanan selalu disuguhi oleh beragam kebijakan yang bertentangan dengan tujuan semula.
Faktor guru sebagai pendidik di sekolah harus kembali menguatkan peran mendidiknya. Bukan sekedar mengajar. Bukan sekedar mengejar target kurikulum. Atau bukan hanya sebatas untuk meraih angka kelulusan. Berkali-kali kalimat sejenis ini terdengar. Bukan hanya terdengar, akan tetapi secara naluri pendidiknya setiap guru sangat memahami apa yang harusnya dikerjakan. Kecuali memang dari awal orientasi untuk menjadi guru hanya mengejar faktor komisi semata (keuntungan finansial).
Orang tua di rumah juga demikian. Sebagai orang tua, anak adalah tangggung jawab sempurna. Cara pandang yang melimpahkan tanggungjawab sempurna ke sekolah merupakan sebuah kefatalan. Untuk itu, orang tua harus menyadari peran dan tanggungjawabnya ini. Ketika perannya telah dimainkan dengan maksimal. Ketika tanggungjawab telah diimplementasikan dengan penuh komitmen dan dedikasi. Cita-cita anak akan berjalan selancar dengan cita-cita orang tua. Bukan kebalikannya, anak dipaksakan memenuhi impian dan harapan orang tuanya. Bahkan ada yang melalui jalur paksaaan. Utuh terpaksa.
Sementara itu, masyarakat juga jangan memanfaatkan faktor kecemasan dan kebimbangan yang terjadi. Masyarakat seharusnya memperkuat perannya sebagai pemerhati agenda dan persoalan pendidikan yang terjadi. Daya sensitif ini akan memunculkan upaya dan energi besar untuk mengembalikan jalan pendidikan ketika sudah berada dipersimpangan. Bukan malah menambah kesesatannya.
Terakhir, semoga pemerintah juga sadar terhadap apa saja keputusannya dalam usaha untuk mensejahterakan rakyat. Membangkitkan kemampuan rakyat. Rakyat yang sebenarnya. Bukan hanya rakyat yang berada pada kalangan dan lingkaran kekuasaan saja. Karena negeri ini dipersembahkan oleh rakyat, dari rakyat, dan untuk rakyat. Bukankah begitu? (*)
*** Artikel dengan judul tersebut pernah terbit pada kolom PENDIDIKAN tanggal 7 Mei 2013 di media cetak Harian Online Kabar Indonesia