Harus diakui pendidikan adalah kata yang sangat familiar dalam kehidupan kita. Dari kalangan awam sampai kaum profesional mengenalnya. Akan tetapi harus diakui juga mengenal saja tidak cukup apalagi bagi kaum intelektual yang hidupnya habis di lembaga pendidikan.Untuk itu, usaha memahami hakikatnya kemudian konsisten untuk menjaga kemurnian tujuan pendidikan itu adalah yang lebih utama.
Merdeka! Inilah kata kunci yang sebenarnya hendak disampaikan oleh Ki Hajar Dewantara melalui beragam artikelnya yang terakumulasi dalam judul buku ‘Menjadi Manusia Merdeka’ ini. Sangat beralasan beliau berpikir demikian. Biasnya memaknai arti pendidikan yang hanya tertuju pada legalitas gelar atau gedung sekolah disertai atribut lainnya juga menyebabkan terjadinya kesamaran antara merdeka dan ketidakberdayaan.
Seperti yang dikutip oleh Tauchid (1963:67) dan kemudian dituliskan kembali oleh Ki Prof. Dr. Subronto Prodjoharjono yang bertindak sebagai ketua tim penerbitan buku ini menyatakan bahwa menurut Bapak Pendidikan Nasional kita itu kemerdekaan seseorang tidak berarti suasana bebas lepasnya orang dari segala bentuk perintah dan kekuasaan orang lain. Akan tetapi sekaligus berarti kesanggupan untuk mandiri dan berdiri sendiri. Selanjutnya beliau juga mengatakan berdiri sendiri dalam soal kemerdekaan itu tidak hanya ‘berdiri yang tidak berdaya,’ beridiri asal berdiri dalam arti sempit. Berdiri sendiri harus diartikan sebagai ketegakan berdiri karena kekuatan sendiri...’
Kekhawatiran yang bukan tanpa sebab oleh pendiri Nationaal Onderwijs Instituut Taman Siswa (Perguruan Nasional Taman Siswa) ini secara langsung dapat kita rasakan dalam kontek kekinian. Bahkan semakin mengkritsal. Bukan sekedar pada permasalahan peningkatan penganguran intelektual akan tetapi kedahsyatan itu terjadi pada matinya rasa kemerdekaan bagi kaum terdidik. Ketika terjadinya disorientasi pendidikan yang hanya sekedar mengejar gelar dan peningkatan status sosial plus hasrat ingin mendulang rupiah, maka pendidikan disinyalir akan bernuansa liberalis. Akhirnya persaingan tidak lagi untuk berbuat benar dan mematikan celah negasi dari kebenaran itu.
Belum lagi di saat kita bicara problematika realias pendidik di negeri ini yang membentuk jurang hubungan dengan peserta didik sebagai ‘majikan-pembantu’. Kelas-kelas yang seharusnya menjadi harmonisasi fisik dan kondisi jiwa malah telah berubah menjadi bilik-bilik jeruji sang pesakitan. Taman Kanak-Kanak dan pendidikan yang masih berhubungan dengan usia dini yang identik dengan dunua bermainpun telah dimatikan dengan berjibun tugas dan hafalan. Rasa kasih sayang dan ucapan motivasi telah berubah menjadi caci-maki. Sementara itu, sisi keluarga yang menjadi sumber pendidik primer telah direduksi oleh sang pemimpin dan anggota rumah tangga itu sendiri.
Dengan kondisi seperti yang kita rasakan serta alami bersama, dan jika ditela’ah hasil pemikiran salah satu tokoh sentral pendidikan yang hari lahirnya dijadikan sebagai Hari Pendidikan Nasional itu. Pantaslah kita untuk berkesimpulan sudah waktunya merubah paradigma serta kebiasaan yang salah selama ini.
Tujuannya hanya satu, agar pendidikan mampu menjadikan manusia yang merdeka, persis seperti sprit penulis bukunya. Dan pantas juga dikatakan wajib -bukan hanya insan pendidik tetapi siapapun yang masih merasa dirinya manusia dan ingin memerdekakan diri dan manusia lainnya- untuk kita merenungi setiap kata pada buku yang terdiri dari 29 buah artikel dan terangkum dalam tiga bab ini.
Apatah lagi bagi mereka yang sekarang merasa sebagai guru bagi anak didiknya dan guru bagi keluarga serta masyarakatnya. Artinya tidak ada alasan bagi untuk mengesampingkan pemikirannya yang oleh Dr. Daoed Joesuf dalam pengantarnya disebut sebagai sosok pelopor pendidikan yang visinya bersifat futuristik.
Jadi saatnya bersama kita apresiasikan pemikiran tokoh yang potret dirinya pernah diabadikan pada uang kertas pecahan 20.000 rupah itu dengan jalan awal membaca olah pikirnya yang terangkum pada buku ini. Semuanya hanya karena hasrat untuk pendidikan lebih baik dan meraih kemerdekaan yang hakiki.