foto: republika.co.id |
Siapa yang tidak pernah menyontek? Sulit rasanya menemukan figur yang terbebas dari perilaku ini. Memang, sedari sekolah dasar sampai menengah perilaku yang mendapatkan jawaban dengan cara ‘haram’ ini telah membudaya. Mata rantainya telah kokoh dan semakin sulit untuk diputuskan. Lihatlah suasana ujian di sekolah, berapa banyak guru yang ambil peduli dengan menyontek ini? Malah kesempatan yang diberikan.
Parahnya lagi ada sang guru seperti tanpa dosa membantu membocorkan soal dan membeberkan jawaban kepada peserta didiknya. Dahsyatnya ini dilakukan secara berjamaah dan diamini pemimpin sekolah. Entah atas dasar apa semua ini terjadi. Pastinya hanya demi sebuah nilai. Hanya demi sebuah reputasi.
Di perguruan tinggi juga bak setali tiga uang, bahkan lebih. Selain kebiasaan menyontek saat ujian masih berlaku. Mencontek hasil karya atau plagiat juga ada. Buktinya perhatikan saja isi dari mayoritas skripsi atau laporan tugas akhir mahasiswanya. Selain itu kita juga dengan mudah mendapatkan selebaran atau situs yang menawarkan jasa pembuatan tugas akhir mahasiswa. Artinya, selain mencontek, jiplak karya tulis, urusan bohong membohongi data juga menjadi bagian yang sudah mendarah daging.
Apakah pendidik di perguruan tinggi tidak tahu tentang hal ini? Bahkan jika diantaranya ada yang mau jujur, pasti kita tersentak menyaksikan pengakuannya. Bukan hanya sekedar tahu, tapi ianya juga sebagai master dalam hal ‘olah-mengolah’ data plus menjadi penawar jasa hasil olahan datanya itu.
Inilah realitasnya. Perilaku tersebut dilakukan atas dasar kesadaran, walau mungkin ada juga karena sebuah ‘tekanan’. Namun apapun alasannya sebuah kesalahan kecil yang dibuat berulang juga akan menjadi dosa besar. Jika belum mau untuk jujur, sebuah kebohongan akan selalu menelorkan kebohongan baru.
Apa yang diharapkan dari profil masyarakat seperti ini? Dari anak kecil sampai orang tua, ternyata prilakunya sama persis. Hanya wilayah kerjanya saja yang berbeda. Maka jangan heran kalau kasus tilap-menilap uang alias korupsi masih sulit diberantas di negeri ini. Semuanya karena ternyata kita sama saja. Hanya bentuknya yang berbeda. Termasuklah korupsi yang sering diperbincangkan itu.
Dalam kondisi berpenyakit yang akut dan kompleks seperti ini, mencari siapa yang salah sama artinya siap untuk disalahkan. Pelapor harus siap untuk dipenjarakan. Kalau diam juga belum tentu aman. Karena sama-sama pernah salah jadinya serba salah. Pantas kemudian kalau muncul sebuah ketidakpercayaan. Akhirnya cari jalan aman untuk diri sendiri.
Cegah Sekarang, Sekecil Apapun Itu!
Memang tidak akan mungkin membersihkan kotoran dengan pembersih yang kotor. Tetapi menghadapi kenyataan yang ada juga tidak harus berpangku tangan. Apalagi harus terus menerus terjebak dalam kubangan kesalahan. Belajar dari pernyataan tokoh revolusi dunia yang telah mengubah rezim kebodohan yang penuh dosa menjadi zaman ilmu pengetahuan, Muhammad SAW. ‘Siapa Saja diantara kalaian melihat kemungkaran, maka dia harus mencegah dengan tangannya. Bila tidak mampu maka cegahlah dengan lisannya. Bila tidak mampu, maka dengan hatinya. Itulah selemah-lemahnya Iman.’
Dua pelajaran yang dapat kita ambil dari pernyataannya tersebut diantaranya, pertama, sipapun kita punya kontribusi untuk mencegah celah-celah kejatahan, termasuklah celah hadinya korupsi. Sekecil apapun itu. Sebagai masyarakat biasa, kasus korupsi triliunan pejabat tinggi bukanlah kuasa kita untuk menyelidikinya. Mempermasalahkannyapun hanya menambah kerja. Ngapain kita yang ribut, orang yang tersandung kasusnya saja belum tersentuh hukum.
Tiada bermaksud untuk tidak ambil peduli. Kekhawatirannya hanyalah akan tercipta kembali adagium ‘kuman diseberang lautan tampak, gajah dipelupuk mata tak tampak’ dalam kehidupan kita. Contohnya seperti kebiasaan kecil tadi: mencontek, plagiat, dan sebangsanya.
Misalnya, bagaimana mungkin seorang guru berteriak anti korupsi. Dianya sendiri secara sadar mempersilahkan siswanya mencuri jawaban, bahkan membantu. Lucu rasanya ketika kepala sekolah berdiskusi ria tentang transparansi penggunanan APBD/APBN, APBS di sekolahnya saja sulit untuk dipublikasikan.
Selanjutnya begitu juga peran orang tua di rumah. Sedari dini ajarilah anak untuk mengembalikan sisa uang jajan sekecil apapun nominalnya. Mulailah membiasakan untuk bebicara yang jujur. Saling membuka diri. Jika orang tua salah, siap untuk ‘diktirisi’ oleh anak.
Begitu juga sebaliknya, orang tua jangan sampai membiarkan setiap kesalahan yang dilakukan oleh anaknya meski terlihat sepele. Andai dibiarkan, anak akan merasa kesalahan yang dibuatnya sebagai sebuah kebenaran. Kemudian terjadilah sebuah kebiasaan yang salah. Tentu pendekatan humanis dan kekeluargaan harus diutamakan dalam menyelesaikannya.
Kedua, seruan Rasul tadi bukan hanya slogan tapi telah menjadi bukti nyata melalui sejarah kegemilangan kepemimpinannya yang belum tertandingi sampai sekarang. Beda dengan saat ini dimana hanya komentar saja yang bertaburan. Para pemimpin hanya sibuk bicara cegah korupsi. Sementara sulit mengambil keputusan ketika ‘karib-kerabat’ terjerat korupsi. Pidatonya melawan nepotisme, tapi penilaian seluruh masyarakat dialah biangnya.
Ini menunjukkan bahwa pemimpin punya andil besar dalam mencegah beragam bentuk kejahatan, termasuk korupsi. Sangat disayangkan kalau kemudian mereka yang memegang kekuasaan malah ‘lesu’ bahkan menjadi bagian dari perilaku yang tak diinginkan itu. Termasuk disana pemimpin rumah tangga, pemimpin sekolah, pemimpin RT dan sebagainya.
Lantas bagaimana dengan para pemimpin kita? Kabar dari KPK mengenai nilai rata-rata Penilaian Inisiatif Anti Korupsi (PIAK) 2010 hanya bernilai 3,43. Untuk diketahui bahwa PIAK adalah alat ukur untuk penilaian instansi publik dalam upayanya mencegah korupsi. Nilainya menggunakan skala 1-10, dengan semakin tinggi nilainya berarti semakin besar inisiatif instansi/daerah tersebut dalam mencegah korupsi.
Apa yang dapat kita simpukan dari nilai PIAK tersebut? Inilah salah satu bukti bahwa budaya korupsi itu ada hubungannnya dengan prilaku menyontek di sekolah, jiplak skripsi saat kuliah, dan perilaku sejenisnya. Benarkan? Jadi, mari putus mata rantai ini, cegah dari sekarang, apapun status kita saat ini. Ingat, selemah-lemah iman saja adalah melawannya dengan hati. Andai hati tak merasakan salah lagi, Ucapkanlah Innalillahi. Kesimpulan lainnya?
(*)Tulisan ini dibuat pada tahun 2011 dan pernah dipublis di Kabar Indonesia, 17-Jan-2011, 00:38:56 WIB