Hanya tujuh huruf. Terkesan sebagai kata ilmiah. Memang ilmiah! Karena ianya sendiri merupakan salah satu bentuk karya ilmiah. Terlepas bagaimana sudut pandang ilmiah itu.
Ah, terpaksa sebelumnya saya jelaskan tentang sudut pandang ini.
Saya, dan anda juga pasti menyaksikan dan mendengarkan. Tapi saya berharap hanya sebatas itu. Bukan pelaku. Sudah menjadi cerita, skripsi telah menjadi kategori barang dagangan.
Diperdagangkan. Ada penjual, ada pembeli. Ada tawar menawar harga. Ada juga yang memasang gaya ‘profesionalnya’ sehingga memakai harga pas. Tidak ada tawar menawar. Ada juga yang melakukan dengan gaya ‘profesionalnya’ sendiri. Jiplak data sana-sini. Data disesuaikan dengan keinginan. Utak-atik data akhirnya menjadi senjata.
Harapannya mendapatkan kesimpulan sesuai selera. Intinya, skripsi jadi. Nah, ketika sudah jadi, berarti percaya atau tidak. Yakin atau tidak. Ia sudah terkategori ilmiahkan?
Upps, tapi ditulisan ini saya tidak tepatnya belum mau untuk membahas panjang lebar masalah ini. Meskipun saya pernah menemui aktor intelektual itu, baik penjual maupun pembelinya. Ya, saya hanya ingin sedikit berbicara tentang ‘daya magis’ sebuah kata yang sudah dikenal oleh semua lapisan masyarakat kita. Meskipun ia tidak sempat mengenyam dunia pendidikan tinggi.
Skripsi memang bak air. Menempati ruang sesuai wadah yang menampungnya. Tak usah heran ketika ada kabar calon sarjana yang frustasi akibat skripsi. Maka pasta gigipun jadi olesan roti. Itu tidak seberapa, ada juga yang depresi akhirnya kena tekanan darah tinggi. Disenggol sedikit, langsung bicara ‘mati.’
Ada juga yang sampai dehidrasi. Kurang minum air gara-gara terlalu fokus mengetik skripsi. Berhari-hari. Jangankan tenggorokan, badanpun jarang diberi air. Baupun menyengat gara-gara lupa mandi. Hari-harinya skripsi. Skripsinyapun menjadi nama-nama hari. Mau tidur teringat skripsi. Mimpinyapun selalu skripsi. Ilerpun tanpa sadar mengalir di kertas-kertas skripsi yang belum jadi.
Ada yang setengah santai, pas menjelang masa DO (Drop Out) baru nafas terasa sesak. Hidupnya serasa dipukul dipalu. Sementara yang cuek sama sekali, siap-siap mendapat ‘talak tiga’ dari Pak Rektor. Terpaksa pulang kampung sambil mengutarakan alasan jurusannya memang sulit dan selalu disulitkan, beda dengan jurursan si A, B, C, D… Ada juga yang sampai setengah gila, bahkan full gilanya. Dulu tertawa bersama karena suka. Sekarang suka dan duka selalu tertawa. Meskipun tertawanya hanya sendiri.
Terakhir, ada yang merasa setengah mati, bahkan utuh mati. Entah itu mati rasa. Gara-gara skripsi, sikapnya berubah drastis. Ada yang sampai anarkis mengambil upil pakai linggis. Dramatis.
Tidak sedikit yang jadi apatis. Gara-gara skripsi, jiwa akitifisnya pelan-pelan terkikis, dan bahkan habis. Kalau diajak rapat, ia malah me-repeat kalimat bakunya ‘maaf, sepertinya nggak bisa hadir, lagi sibuk skripsi’.
Gara-gara skripsi teman satu kosanpun sudah tak lagi dipeduli. Jangankan untuk ikut aksi sosial, keluarganya malah mendapat ‘sial’ akibat selalu dipaksa mengirimkan uang lebih, lebih, dan lebih. Tentu dengan alasan skripsi.
Dan untuk yang benar-benar mati, saya hanya ingin mengajak kita berucap bersama: Innalillahi….. Apa boleh buat, mungkin memang sudah takdir hidupnya berakhir sebelum selesai mengerjakan tugas akhir.
Tak usah heran. Skripsi memang ibarat air. Menempati ruang sesuai wadahnya. Beberapa contoh ulasan di atas terjadi ketika wadahnya agak sedikit, sedikit, dan banyak bicara ‘stress’ ketimbang berpikir untuk ‘beres.’ Seolah merasa dunia hanya di isi dengan beban skripsi.
Dari sini, seharusnya kita dan termasuk saya harus belajar dari wadah selanjutnya. Aktor kedua. Memang tak perlu banyak bahkan jangan pernah stres, tapi pekerjaan beres. Kalaupun belum beres, tetap jangan stres. Tunggu sampai beres. Jika masih belum beres juga, tetap jangan sampai stres. Kalau akhirnya sudah kangen dengan stres, tunggulah sampai pekerjaan beres, baru boleh stres.
Ketahuilah. Stres itu diibaratkan bukan tamu yang terhormat, tapi manusia liar yang tidak kita kenal sama sekali. Ketika manusia liar itu kita sapa, dibawa pulang, dan di ajak masuk kerumah ‘otak’ kita. Bersiaplah kehabisan energi meladeninya. Lha siapa yang membawanya?
Nah, tapi tidak semua seperti kisah di atas. Ada juga yang asli, kerja mandiri, meski beragam coretan selalu menghiasi ketika konsultasi. Bahkan saat ujian akhirpun masih ‘dikebiri’ dewan penguji. Tapi dengan gaya mandiri sepenuh hati, strespun ragu menghampiri.
Yahhh Tapi itulah skripsi. Kalau dimutilasi katanya menjadi SKRIP dan PSI (bukan sedikit maksa, karena ‘P’nya hanya satu, jadi saya bagikan dua, separuh untuk SKRI-nya dan separoh untuk SI-nya).
Sekarang mari kita bedah lagi satu persatu kata tersebut. Skrip = naskah, tulisan, Psi = singkatan yang masih berhubungan dengan Psikologi/s, Nahhh… Jadi secara estimologi historikal (apapun itu) dapat diartikan bahwa SKRIPSI adalah tulisan-tulisan yang akan menguji ketahanan psikologis/kejiwaan.
Hasil dari perpaduan SKRIP dan PSI, maka SKRIPSI dapat diartikan sebagai tulisan-tulisan yang akan menguji ketahanan psikologis/kejiwaan.
Memang ada banyak hal yang perlu dikaji. Contohnya, mengapa ketika belum rampung, skripsi selalu menampung rasa caci-maki. Tapi setelah rampung dan wisuda dijalani. Skripsi ditimang-timang, disayang-sayang, dan selalu dipuji.
Kesana-kemari ceritanya skripsi. Kadang nahan diri karena belum ditanya lawan bicara tentang skripsinya. Masuk sedikit tema skripsi. Habis sudah waktu hanya untuk berbagi kisah skripsi.
Intinya hanya ingin mengatakan, skripsinya tambil beda. Patut dipuja. Meski datanya entah didapat dari mana. Dan…. diselip-selip pembicaraan biasanya tersirat bahkan tersurat bahwa skripsnya sudah menghabiskan kertas yang maha berat. Poin ini juga tidak kalah untuk dikabar: Skripsinya TEBAL, HEBAT!
TEBAL. Memang terkesan fenomenal. Bahkan beberapa tokoh dengan bangga mengatakan jumlah halaman ketika menghasilkan sebuah karya bernama skripsi ini.
Bahkan kata ‘uang’ jika disandingkan dengan ‘tebal’ artinya akan menjadi orang beruang = berduit = kaya = tajir. Disandingkan dengan ‘saku’ saja, yaitu ‘saku tebal’, kesannya saja sudah beruang. Padahal belum tahu isi sakunyakan? Itulah TEBAL. Memang fenomenal. Tapi bagaimana dengan ‘telinga tebal?’. Telinga tebal = bebal? Tebal memang fenomenal.
Nah.. nah.. nah… padahal bukan tebal-tipisnya skripsi yang menjadikan kualitas skripsi itu. Baik ditinjau dari karangan skripsinya. Dan yang lebih penting itu adalah ditinjau dari kualitas si penulis skripsi. Nama yang terpampang di halaman cover skripsi itu. Kalau kualitas karangan skripsi, bisa diuji dengan membacanya. Sekali lagi, terlepas dari mana data yang didapatkan.
Selain itu juga bisa diuji melalui aplikasi dari kualitas skripsi itu. Aplikasi ini bisa dipandang dalam dua hal.
Pertama, pemanfaatan hasil penelitan dari skripsi. Memang tidak banyak. Kalau dipersentasekan, saya prediksi hanya sekitar 1% skripsi yang aplikatif dari jutaan maha karya sang mahasiswa yang lulus pertahun. Ini hanya prediksi, kalau tidak percaya, survery saja segera. Bahkan sudah ada yang kemudian bertransformasi menjadi sebuah HAK PATEN, bahkan menjelma menjadi sebuah USAHA, mungkin MENDUNIA dan lain sebagainya.
Untuk yang kedua, ini berkaitan dengan sang penulis skripsi itu. Dari dosen saya dulu, dan dari beberapa dosen teman saya yang kebetulan berbicara dengan saya. Saya mendapatkan wejangan yang isinya mengatakan bahwa ‘Skripsi itu mengajarkan dan membiasakan kita untuk berpikir ilmiah.’
Hanya melalui fase berpikir ilmiahlah, kemudian mampu menghasilkan kerangka ilmiah, hingga terwujud sebuah karangan ilmiah. Bukankah begitu?
Perhatikan kembali wejangan tadi. Selain ada kata ‘mengajarkan’, juga ada kata ‘membiasakan’. Disinilah ujian bagi penulis skripsi itu. Hasil dari ujian ini tidak bisa sekedar dilihat dari hasil karya skripsinya. Tetapi kehidupan setelah ia mendapatkan izajah itulah yang menentukan kelulusannya.
Akibatnya, tidak sedikit kita menemukan banyak orang bertitel tapi bicaranya ngawur. Pun kadang menjadi produsen hoax. Bahkan dengan terang benderang memanipulasi data. Bukan tidak mungkin, ini adalah kebiasaannya yang dulu itu - saat membuat skripsi.
Lagi-lagi wajar jika masyarakat Indonesia dibuat kebingungan dengan data yang ada di Republik ini. Banyak data palsu berkeliaran. Sampai alamatpun dipalsukan –dan dinyanyikan. Sampai kelaminpun dimanipulasikan.
Tidak sedikit pula kita menyaksikan banyak yang sudah meraih gelar, tapi gentar dalam menghasilkan tulisan walau secuil ilmiah-. Meskipun hanya 1 atau 2 atau 3 lembar saja. Meskipun tulisan itu tidak SETEBAL skripsi yang dibanggakannya itu. Anehkan?
Jadi, tebal dan tipis bukanlah menjadi patokan kualitas skripsi dan penulis skripsi bukan? Oleh karena itu, mari dengan memanfaatkan momentum pembuatan skripsi. Tentunya skripsi pribadi. Kita bersama menjadikan momentum ini sebagai ajang penempaan diri untuk menjadi warga negara Indonesia yang ilmiah. Warga negara yang bukan doyan memanipulasikan data. Plus bukan juga warga negara yang menyebar berita kebohongan.
Dan, hingga nanti, ketika selesai kuliah dan mendapatkan gelar kesarjaanaannya, tidak lagi hanya membanggakan KETEBALAN skripsi. Hanya TEBAL!
Dan bagi yang lagi sedang skripsi, jangan sekedar mikirkan keTEBALannya saja… Akhirnya copy – paste karya orangpun dibuat HALAL.
Karena SKRIPSI bukan hanya sebuah pertanggungjawaban di depan dewan penguji. Skripsi juga bentuk pertanggungjawaban keabadian.
Selamat berkontemplasi, Selamat ber-skripsi…. Jangan manipulasi!