Beberapa waktu lalu. Di salah satu transportasi publik yang kebetulan sedang ditumpangi. Terdengarlah percakapan dua ibu rumah tangga. Inti percakapannya adalah mengenai bagaimana nasib anak mereka yang kebetulan tahun ini sama-sama akan masuk Sekolah Dasar (SD).
Ada suara kekhawatiran yang sama diantara kedua ibu separuh baya itu. Kekhawatiran jika salah memilah dan memilih pendidikan terbaik untuk anaknya.
Kekhawatiran yang juga sekaligus menunjukkan semakin terkikisnya kepercayaan terhadap lembaga pendidikan formal saat ini.
Kita semua yakin. Bukan hanya kedua ibu di atas yang dilanda rasa khawatir. Kita dan jutaan pasang orang tua juga demikian. Harus selektif dalam menentukan pendidikan bagi anak adalah sebuah kewajiban. Baik untuk pendidikan usia pra sekolah sampai ke perguruan tinggi sekalipun.
Bahkan tidak sedikit orang tua harus rela menguras rekening tabungannya agar anaknya bisa mengikuti pendidikan di sekolah yang dianggapnya terbaik.
Nah, kembali ke kisah kedua ibu tadi. (Maaf ya Buibu, jika kisahnya masih diceritakan)
Di tengah perjalanan, masih diiringi perbincangan dengan tema mencari sekolah terbaik. Di balik ada sebuah kesamaan rasa khwatir tadi. Ternyata secara kebetulan ada juga perilaku yang sama diantara mereka. Melalui jendela transportasi itu, tanpa ragu dan malu mereka membuang sampah plastik cemilannya ke jalan raya.
Secara kasat mata memang terlihat ‘sederhana’ tragedi buang sampah ini. Namun dari kejadian ini ada satu hal yang menarik untuk kita cermati bersama. Terlebih ketika bicara gerakan yang sedang digencarkan oleh pemerintah saat ini: Penguatan Pendidikan Karakter. (dengan segenap isu-isu pendidikan belakangan ini)
Kadang tanpa disadari. Masih banyak kita temukan benturan sikap para orang tua dengan keinginannya terbaikya untuk sang anak.
Satu sisi anak diajarkan untuk berkasih sayang. Sementara sikap keseharian bagaikan monster yang menakutkan.
Anak dijabarkan bersopan santun, sementara orang tuanya akrab mengeluarkan cacian. Akhirnya anak bingung menentukan sikap. Mana yang harus dipercayai, perbuatan atau perkataan?
Sebagai orang tua, kita memang selalu berhasrat ingin memberikan sekolah yang terbaik Kita mempunyai kesempatan memilih. Lebih dari itu, kita juga bisa menggantikan pilihan tersebut jika dalam perjalanannya ditemukan sekolah yang lebih baik lagi.
Begitu seterusnya. Sampai akhirnya kita merasa puas dan bangga atas pilihan itu.
Akhirnya kemudian terikrarkanlah dengan sempurna ‘inilah sekolah anakku.’
Sayangnya di tengah ikrar itu kita selalu lupa dan enggan untuk bertanya. Apakah anak-anak itu memposisikan kita sebagai orang tua terbaiknya? Melalui perilaku maupun perbuatan.
Oleh karena itu, sebelum jauh membicarakan sekolah terbaik untuk anak. Keluarga haruslah terlebih dahulu menjadikan dirinya sebagai sekolah terbaik. Karena sejatinya keluargalah sekolah pertama dan utama itu.
Pertamanya karena sejak dalam kandungan sampai akhirnya masuk ke dunia sekolah -dalam arti sekolah pada umumnya. Keluargalah yang menjadi nafas kehidupannya. Atmosfir kehidupan keluarga itulah yang membentuk bibit kepribadian anak. Dari keluarga sejarah hidupnya bermula.
Sedangkan dikatakan utama karena keluarga mempunyai fungsi yang tak tergantikan. Keberadaan orang tua tidak bisa disubtitusikan dengan orang lain. Apapun profesi orang lain itu.
Selain dari sisi biologis ada darah kedua orang tuanya yang mengalir. Ikatan emosional juga menjadi penentu hubungan yang tidak biasa diprediksi dengan rumus matematika.
Ketika keluarga telah memposisikan diri sebagai sekolah yang utama dan pertama bagi anaknya. Maka sekolah lanjutannya mulai dari Pendidikan Usia Dini, SD dan seterusnya akan dipandang sebagai estafet kelanjutan pendidikan keluarga. Ada bentuk pendelegasian peran dari orang tua dan guru.
Siklus ini jika dirawat dengan maksimal akan membentuk sebuah PETA JALAN (uppss, lagi rame tentang ini sekarang ya?) yang edukatif bagi perkembangan anak. Sampai disini, tidak perlu lagi ada perdebatan tentang full day atau half day school. Atau juga mengenai perlukah PR bagi sang anak. Dan lain sebagainya. (Termasuk efektif mana daring atau luring dan dengan segenap isu-isu pendidikan belakangan ini)
Jika segitiga pendidikan itu terdiri dari keluarga, sekolah, dan masyarakat. Namanya segitiga, berarti ketiga sisinya harus saling mendukung dan bersatu. Namun diantara tiga titik itu, sebenarnya keluargalah yang menjadi dasar sekaligus puncak perhatiannya.
Kita memang sering mendengar publikasi tentang berbagai perilaku amoral yang dilakukan anak di sekolah dan di lingkungan masyarakat. Namun tanpa menutup mata atas berbagai kejadian miris itu. Tanpa melepaskan tanggungjawab para guru di sekolah dan masyarakat. Sadarkah kita bahwa para guru di sekolah itu juga berprofesi sebagai orang tua bagi anak-anaknya? Sadarkah kita bahwa masyarakat itu adalah akumulasi dari kehidupan keluarga?
Jadi saatnya para orang tua (termasuklah saya sendiri) menunjukkan telunjuknya terlebih dahulu kepada diri. Sudahkah menjadi sekolah yang terbaik bagi anak-anaknya?
Jika jawabnya sudah. Tentu tidak akan ada lagi keresahan mencari sekolah terbaik bagi sang anak.
Mengapa? karena setiap orang tua. Baik yang berada dalam lini rumah tangga. Orang tua yang berprofesi sebagai guru di sekolah. Serta orang tua yang hidup dalam lingkungan masyarakat. Semuanya telah berbuat yang terbaik bagi anak-anaknya.
Jika demikian. Kitapun akan bangga ketika nantinya sang anak dengan bangga berkata “inilah keluargaku, sekolah terbaikku.”
Semoga ya..Bismillah..
**Tulisan ini -dengan judul Menjadi Sekolah Terbaik- pernah terbit di Koran Pelita, Jakarta