Selasa (25/6), penulis berdiskusi sekaligus mendengarkan paparan Kepala Biro Sumber Daya Manusia Polda Metro Jaya, Kombes Pol. Langgeng Purnomo, terkait jati diri dan visi dalam merajut nusantara untuk menjadi imam perdamaian dunia. Diantaranya adalah bagaimana membangun kemampuan untuk memperkuat rasa keimanan dan kemanusian. Saat meramu dengan seksama apa yang dijelaskan oleh salah satu pakar SDM Polri ini, seketika penulis teringat tentang kondisi generasi penerus bangsa. Tepatnya kepada mereka yang telah dilabelkan sebagai Generasi Z alias gen z.
Apa kondisi yang terbayang di ruang diskusi itu? Pertama, tentu masih segar ingatan kita terkait dengan rilis Badan Pusat Statistik yang menyatakan hampir 10 juta gen z tidak bekerja dan tidak sekolah. Tepatnya 9.896.019 orang per Agustus 2023 lalu. Tentunya ini bukan angka yang sedikit. Satu orang pengangguran saja kadang bisa menyebabkan efek negatif, baik di keluarganya maupun masyarakat sekitar.
Kedua, karena kebetulan bergabung di beberapa grup media sosial yang isinya lebih dari 90%-nya adalah mereka yang masuk dalam kategori gen z ini, maka setiap hari selalu menyaksikan pola komunikasi mereka yang sudah menjadi — katanya — ciri khasnya. Sebagai anggota grup yang secara usia adalah golongan minoritas, perlu penyesuaian yang kadang-kadang harus menguras jiwa untuk memahami tata krama mereka dalam berdialektika.
Ketiga, terkait dengan salah satu “ciri khas” yang cenderung dilabelkan kepada mereka, yakni kesehatan mental. Kondisi yang akan melahirkan “cara baru” bagi mereka dan juga kita dalam mengatasinya. Diantaranya semakin tergaungnya istilah healing. Butuh healing, dikit-dikit healing. Sering dengar, bukan?
Keempat, karena kebetulan juga tim kerja penulis mayoritasnya terdiri gen z, akhirnya semua “ciri khas” itu seperti terkonfirmasi sempurna. Apalagi ketika ditambah dengan berbagai pendapat para pakar yang akhir-akhir ini berkesimpulan bahwa gen z berpotensi menjadi generasi paling stres.
Hasil Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) dua tahun silam juga telah mengingatkan dengan beberapa temuan pentingnya. Diantaranya adalah satu dari tiga remaja kita atau sebesar 34,9% (15,5 juta jiwa) memiliki masalah kesehatan mental. Bahkan satu dari dua puluh atau sebesar 5,5% (2,45 juta jiwa) memiliki satu gangguan mental.
Tanpa menampik bahwa banyak persentase gen z yang berprestasi, mandiri, serta lepas dari jerat-jerat permasalahan sosial. Akan tetapi, dari bayang-bayang fakta kelam yang ada ini, sepatutnya kita segera sigap sehingga mimpi untuk mewujudkan Indonesia Emas 2045 nanti bisa terealisasi dengan penuh suka cita.
Salah satu jalan awal untuk mewujudkan ini semua adalah dengan melahirkan langkah kebersamaan. Sebagai orang-orang dewasa yang seyogyanya menjadi sumber keteladanan sekaligus pelindung haruslah segera melakukan konsensus terhadap kondisi yang mereka alami saat ini. Ketika kita masih memiliki perbedaan frekuensi dalam membaca peta kondisinya, pastilah akan berujung gali lobang - tutup lobang. Ada yang berjibaku untuk membangun, sementara di sisi lain ada yang membiarkan saja keadaan berlalu. Seakan-akan keadaan sedang baik-baik saja. Bahkan, bukan tidak sedikit yang menjadi benalu alias ikut memperkeruh serta merusak keadaan.
Ketika kita sudah bersepakat dengan keadaan yang ada, selanjutnya kita harus bersepakat dalam mengambil langkah-langkahnya. Sehingga, prioritas membangun mentalitas generasi itu tidak saling tumpang tindih yang bahkan bisa memunculkan masalah baru. Bukan malah menjadi sehat, kesehatan mentalnya semakin terganggu.
Bukan sebuah rahasia lagi, fenomena menjadikan kondisi sulit sebagai ladang meraup keuntungan sudah sering terjadi. Oleh karenanya, usaha untuk memperkuat kondisi gen z tidak dijadikan sebagai ladang untuk memanfaatkan situasi. Andai demikian, berbagai program yang dilahirkan akan menjelma menjadi usaha-usaha yang tidak lebih hanya sebatas untuk mencairkan plus menghabiskan anggaran.
Ujungnya? Mereka yang kelak akan menjadi tulang punggung pembangunan bangsa akan semakin terjepit. Baik dihantam oleh kerasnya ketimpangan kehidupan yang diantaranya meningkatnya tingkat kemiskinan yang disertai dengan melejitnya kebutuhan pokok serta menyempitnya lapangan usaha yang tersedia.
Ketimpangan sosial yang hadir ini juga diyakini sebagai salah satu penyebab tertinggi lahirnya masalah kesehatan mental. Apalagi ketika ketimpangan itu dihadirkan di berbagai saluran media sosial yang saat ini telah menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan oleh gen z. Akhirnya, banyak yang kemudian mengambil langkah-langkah yang malah membuat masalah baru bagi kehidupan bermasyarakat.
Diyakini, ketika kita sudah saling sadar dan saling membahu dalam melakukan usaha-usaha perbaikan. Dapat dipastikan, segala persoalan-persoalan yang saat ini sedang dihadapi akan sangat mudah untuk dilenyapkan. Nuansa-nuansa persahabatan, persatuan, dan keadilan dengan sendirinya juga akan bermunculan.
Sebaliknya, ketika kita masih sulit untuk menyamakan persepsi dalam membaca keadaan. Ketika kita masih tersandera untuk melangkah bersama. Bahkan, ketika secara sadar kita malah menjadi bagian yang mempersulit keadaan. Bisa jadi, kita sendiri sedang kehilangan jati diri yang disertai dengan keimanan dan rasa kemanusiaan yang sekarat.
Sehingga, sembari berkolaborasi memperkuat jati diri gen z, kita juga secara masif segera untuk menyadari kemudian secara bersama-sama memperkuat jati diri masing-masing diri.
Akhir kata, mengutip apa yang menjadi salah satu terobosan Kombes. Pol. Langgeng Purnomo tadi. Saatnya kita berkolaborasi untuk bergerak. Bergerak dengan memperkuat rasa keimanan dan kemanusian. Siap? Harus siap!
---Tulisan ini bisa dibaca juga di Opini Kompas 27 Juli 2024